Al-Jamu wattartib Oleh : Fajri Hidayat Al-Bughory
Banyak diantara
saudara kita para muslimin yang
mengatakan bahwasanya Negara Indonesia bukanlah
termasuk Negara Islam karena hukum di indonesia berlandas kepada Thogut ‘ Pancasila’,dan pada akhirnya lahirlah dari stetmen tersebut wacana yang
mengatakan bahwasanya Presiden Indonesia adalah Kafir sehingga haram hukumnya
untuk ditaati.
Apakah benar demikian ??? Insya ALLOh
dalam tulisan ini saya akan membahasan secara ringkas masalah ini ( dengan
kadar keilmuan saya yang sedikit ini dalam menukil pendapat Ulama Ahlus sunnah
wal jamaah ), dan sekaligus menjadi sedikit bahan renungan serta bantahan
terhadap pemikiran takfir yang melanda sebagian muslimin yang mau tidak mau pemikiran mereka ternyata telah terkontaminasi Akidah dan pemikiran Sesat para Khowarij!!-Waliyadzu billah
A. Indonesia
bukan Negara Islam ???
Sebelum kita membahas apakah
Indonesia Negara Islam atau bukan, kita harus mengetahui dulu apa itu Darul (
Negara ) Islam dan Darul Kufur( atau bisa dikatakan juga Daulah Islamiyyah
dan Daulah Kafiroh )[1].
Para ulama' ahlus sunnah membagi
suatu negeri menjadi 2 macam yaitu Darul Islam dan Darul Kufur, namun mereka berbeda
pendapa tentang indikasi yang dijadikan patokan
dalam menghukumi suatu negeri apakah Darul Islam atau Darul Kufur, namun
yang paling Rojih adalah bahwa suatu negeri
dikatakan Darul Islam jika mayoritas
penduduknya muslim Dan amalan serta syi'ar – syi'ar Islam tampak pada penduduk negeri tersebut[2] seperti adzan, shalat 5 waktu, shalat Jum'at, Shalat 'Ied
dan lain sebagainya[3], adapun
dalilnya adalah :
“Dari Anas bin Malik radhiyallaHu 'anHu, ia
berkata, "Adalah Rasulullah jika hendak menyerang daerah musuh ketika terbit fajar.Beliau menunggu suara
adzan, jika beliau mendengar adzan maka beliau menahan diri, dan jika tidak
mendengar maka beliau menyerang"[4]
1.
Al-Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata,"Hadits ini menunjukan bahwa adzan menahan serangan
kaum muslimin kepada penduduk negeri daerah tersebut, karena adzan tersebut merupakan dalil atas keislaman mereka" [5]
2.
Al-Imam Qurthuby berkata, "Adzan adalah tanda yang
membedakan antara Darul Islam dan Darul Kufur" [6]
3.
Az Zaqarny berkata,
"Adzan adalah syi'ar Islam dan termasuk tanda yang membedakan Darul Islam
dan Darul Kufur"[7]
Sekarang mari kita lihat diNegeri terciinta Indonesia ini, Apakah
Syiar-syiar agama dilarang oleh pemerintah? Apakah diNegeri kita ini suara
Adzan tak terdengar lagi?? Apakah pemerintah melarang kita untuk menegakan
Sholat??? Jawabannya pasti tidak, dan inilah sebabnya bahwasanya Negara Islam
termasuk Negara Islam.
Dan kalau kita mau jujur serta memperhatikan bahwasanya tidak semua hukum di Indonesia menggunakan hukum
kafir, coba kita lihat hukum pernikahan, warisan, perceraian dan lain
sebagainya yang kesemua itu ternyata
dari hukum Islam, bukankah itu merupakan Syiar agama??
Maka anehlah perkataan Usamah bin
Laden – Semoga Alloh memaafkannya dan kita semua- Sebagaimana dimuat dalam
koran Ar-Ra`yil ‘Am Al-Kuwaiti edisi
11-11-2001 M, Usamah bin Laden menjawab:
“Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu.Adapun Pakistan. dia memakai
undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai negara
Islam…” (????????!!!!!!!!!????????) Jika ia telah menghukumi negara Arab,
terkhusus Saudi Arabia sebagai negara kafir —padahal di Saudi Arabia telah
diterapkan syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh bahkan ditegakkan
pula hukum-hukum had dan hukum Islam yang lainnya—maka bagaimana dengan Indonesia ini?[8]
Maka akibat dari keputusan tersebut di
atas melahirkan keputusan berikutnya, yaitu: kewajiban memerangi negara-negara
tersebut .Kita berdoa kepada Allah
semoga memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin untuk
kembali kepada jalan pemahaman yang lurus, yaitu pemahaman as-salafush shalih,
generasi terbaik umat ini.
B. Kafirnya orang
yang berhukum selain Hukum ALLOH
Masalah Takfir, adalah masalah yang
berat konsistennya[9],
yang seyogyanya tidak masuk kedalam bab tersebut, kecuali Ulama yang amin dan
Tsiqoh dalam Ilmunya yang mengembalikan seluruhnya kepada ALLOH dan Rosulnya,
bukan seorang yang awam apalagi orang
yang dipayungi Hawa Nafsunya – wal iyadzu Billah-
Adapun mereka yang mentakfirkan orang yang
berhukum selain Alloh, Berdalil dengan Firman ALLOH : ". Dan barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah.orang-orang yang
kafir"[Al-Ma’idah : 44] Maka
siapapun orang yang berhukum selain hokum ALLOh adalah KAFIR!!!
Maka tuduhan itu kita jawab dengan Atsar
Sahabat Nabi yang paling tahu tafsir Al-Qur’an yaitu lbnu Abbas Rodhiyallahu
anhuma[10] Ia berkata :
إنه ليس كفرا ينقل من الملة كفر دون كفر
“Sesungguhnya kekufuran
dalam ayat ini bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dia
adalah kufur duna kufrin (kufur kecil yang tidak mengeluarkan pelakunya dan
lslam)”.[11]
Syubhat berikutnya yang mereka lontarkan,
mereka menyatakan bahwa pendapat yang membagi kekufuran menjadi dua : “kufur
akbar” dan “kufur duna kufrin” [12](kufur
kecil) adalah pendapat Murjiah sebagaimana dikatakan oleh Abu Bashir
di dalam sebagian dari bait-bait syairnya yang
melecehkan paraulama :
“Mereka
memandang kekufuran dengan perkataan yang melampaui batas,
keimanan Murji’ah Dan menyifatinya
sebagai kufur duna kufrin”[13]
Mari kita cermati pendapat para Ulama tentang ayat hukum ini :
[1]. Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thobari Rohimahullah
berkata dalam Tafsir-nya (6/256). : Telah mengabarkan kepada kami Hannad dia
berkata: Telah mengabarkan kepada kami Waki’ dan telah mengabarkan kepada kami
lbnu Waki’ bahwasanya dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami bapakku dari
Sufyan dari Ma’mar bin Rosyid dari lbnu Thowus dari bapaknya dari lbnu Abbas
rodhiallahu anhu (tentang ayat) ... Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan
apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(Al-Ma‘idah : 44), dia (lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma) berkata: “ini adalah
kekufuran dan bukan kufur kepada Alloh, para malaikatNya, kitab-kitab-Nya, dan
para rosul-Nya.”
Dan Para perowi riwayat ini adalah orang-orang
yang tsiqoh (terpercaya) dan para imam, dan sanad inii dishohihkan oleh Syaikh
al-Albani rohimahullah dalam Silsilah Shohihah 6/113 .
[2]. Al-Hakim Rohimahullah berkata dalam
Mustadrok-nya (2/342) : Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sulaiman
al-Mushili dia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Ali bin Harb dia
berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin
Hujair dari Thowus dari lbnu Abbas RodhiYallahu anhu dia berkata: “Dia bukanlah
kekufuran yang kalian ( para Khowarij )katakan, sesungguhnya dia adalah
kekufuran yang tidak mengeluarkan dari Islam. (Ayat yang artinya:) .... Dan barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah
orangoranyangkafir(Al-Ma‘idah 51:44).”ini adalah kufur duna kufrin“
Sesudah membawakan riwayat ini, al-Hakim
rohimahulloh berkata : “Ini adalah hadits yang shohih sanadnya” dan disetujui
oleh Dzahabi rohimahullah dalam Talkhis Mustadrok 2/342 Syaikh Al-Albani
rohimahullah berkomentar :
“Keduanya berhak mengatakan hadits ini shohih
atas syarat Bukhori dan Muslim karena memang demikian keadaannya.”[Silsilah Shohihah
6/113]
[3]. Al-Imam Ibnu Jarir rohimahullah berkata
dalam Tafsir-nya (6/257) : Telah mengabarkan kepadaku Mutsanna dia berkata :
Telah mengabarkan kepada kami Abdulloh bin Sholih dia berkata: Telah
mengabarkan kepadaku Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abu Tholhah dari lbnu
Abbas Rodhiyallahu anhuma tentang firman Allah ... Dan barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir” (Al-Ma ‘idah : 44); (lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu berkata):
“Barangsiapa yang juhud (mengingkari) apa yang diturunkan oleh Alloh maka
sungguh dia telah kafir, dan barangsiapa yang mengakui apa yang diturunkan oleh
Alloh dan tidak berhukum dengannya maka dia zholim lagi fasik.”
Dan Abdulloh bin Sholih dikatakan oleh lbnu Hajar:
“Shoduq Katsirul Gholath Tsabt fi Kitabihi (shoduq, banyak salah kuat dalam
kitabnya)’, Mu’awiyah bin Sholih dikatakan oleh lbnu Hajar dalam Taqrib: “Shoduq
Lahu Auham (shoduq, memilikibeberapakesalahan)”. Ali bin Abu Tholhah dikatakan
oleh lbnu Hajar dalam Taqrib: “Shoduq Qod Yukhti’u (shoquq, kadang salah)’ dia
dikritik dalam riwayatnya dari lbnu Abbas rodhialLahu anhu oleh beberapa ulama
seperti Duhaim dan lbnu Hibban bahwasanya Ali bin Abu Tholhah tidak pernah
mendengar riwayat langsung dari lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma(Lihat Tahdzibut
Tahdzib 7/339-341), tetapi hal ini dijawab oleh Abu Ja’far an-Nuhas dan lbnu
Hajar bahwa Ali bin Abu Tholhah mengambil riwayat tafsir dari lbnu Abbas
Rodhiyallahu anhuma dengan perantaraan orang-orang yang tsiqoh seperti Mujahid dan
lkrimah“[Lihat Nasikh dan Mansukh hal 13 dan Al-Itqon 2/415]
Naskah tafsir lbnu Abbas dari riwayat Abdulloh
bin Sholih dari Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abi Tholhah ini dijadikan
rujukan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal rohimahullah. dan banyak dibawakan oleh
al-Imam Bukhori dalam Shohih-nya [Lihata sy-Syari’ah oleh Ajuri hal.78 ,
Tahdzibut Tahdzib 7/340, dan Fathul Bar! 8/438]
Riwayat Ali bin Abu Tholhah dihasankan oleh
Suyuthi serta dishohihkan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi [Lihat Al-Itqon 2/241
dan Mustadrok 3/23]
PARA ULAMA BERSANDAR KEPADA TAFSIR IBNU ABBAS
RODHIYALLAHU ‘ANHUMA TENTANG “AYAT HUKUM”
Hal lain yang menunjukkan keshohihan tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini selalu bersandar kepada tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu terhadap ayat hukum, sebgaimana didalam nukilan-nukilan berikut ini:
Hal lain yang menunjukkan keshohihan tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhuma, para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah dari zaman tabi’in hingga zaman ini selalu bersandar kepada tafsir lbnu Abbas Rodhiyallahu anhu terhadap ayat hukum, sebgaimana didalam nukilan-nukilan berikut ini:
1). Atho’ bin Abu Robah, seorang tabi’in,
menyebut ayat 44-46 surat al-Ma’idah, dan berkata: “Kufrun duna kufrin (kufur
kecil), fisqun duna fisqin (fasik kecil), dan zhulmun duna zhulmin (dzolim
kecil)” [Diriwayatkan oleh lbnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan
sanadnya oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Shohihah 6/114]
2). Thowus bin Kaisan, salah seorang tabi’in, menyebut ayat hukum dan berkata :”Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam SilsiIah Shohihah 6/114]
2). Thowus bin Kaisan, salah seorang tabi’in, menyebut ayat hukum dan berkata :”Bukan kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari agama” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya 6/256 dan dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Al-Albani dalam SilsiIah Shohihah 6/114]
3).Al-Imam Ahmad bin Hanbal ditanya tentang
maksud kufur dalam ayat hukum, maka beliau berkata : “Kekufuran yang tidak
mengeluarkan dari keimanan”[Majmu’Fatawa7/254]
4). Al-Imam Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam
membawakan tafsir lbnu Abbas dan Atho’ bin Abu Robah terhadap ayat hukum dan
berkata : “Maka telah jelas bagi kita bahwa kekufuran dalam ayat ini tidak
mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, dan bahwasanya agamanya tetap eksis
meskipun tercampur dengan dosa-dosa.” [Kitabul lman hal. 45]
5). Al-Imam Bukhori berkata dalam Shohih-nya (1/83) : “Bab Kufronil ‘Asyir wa Kufrun Duna Kufrin’ al-Haflzh Ibnu Hajar berkata :”Penulis (Al-Imam Bukhori) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abu Robah dan yang lainnya” [FathuIBari1/83]
5). Al-Imam Bukhori berkata dalam Shohih-nya (1/83) : “Bab Kufronil ‘Asyir wa Kufrun Duna Kufrin’ al-Haflzh Ibnu Hajar berkata :”Penulis (Al-Imam Bukhori) mengisyaratkan kepada atsar yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam Kitabul Iman dari jalan Atho’ bin Abu Robah dan yang lainnya” [FathuIBari1/83]
6). Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari menyebutkan
lima pendapat para ulama tentang tafsir ayat hukum kemudian berkata : “Pendapat
yang paling utama menurutku adalah pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat ini
turun pada orang-orang kafir ahli kitab, karena ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya turun pada mereka, merekalah yang dimaksudkan dengan ayat-ayat ini,
dan konteks ayat-ayat ini adalah khobar (kabar) tentang mereka, maka keberadaannya
sebagai kabar tentang mereka lebih utama.
7).
Al-Imam Baihaqi berkata dalam Sunan Kubro (10/207): “Yang kami riwayatkan dari
al-Imam Syafi’i dan para imam yang lainnya tentang para ahli bid’ah ini mereka
maksudkan kufur duna kufrin (kufur kecil) sebagaimana dalam firman Alloh.
“Artinya : ..Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(AI-Ma’idah : 44); lbnu Abbas Rodhiallahu anhumas berkata : Dia bukanlah kekufuran yang kalian (para Khowarij) katakan, sesungguhnya dia adaiah kekufuran yang tidak engeluarkan dari Islam. Ini adalah kufur duna kufrin.”
“Artinya : ..Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”(AI-Ma’idah : 44); lbnu Abbas Rodhiallahu anhumas berkata : Dia bukanlah kekufuran yang kalian (para Khowarij) katakan, sesungguhnya dia adaiah kekufuran yang tidak engeluarkan dari Islam. Ini adalah kufur duna kufrin.”
8). Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam
At-Tamhid (4/237) : “Telah datang dari lbnu Abbas Rodhiallahu anhuma bahwasanya
dia berkata tentang hokum penguasa yang lancung, kufrun duna kufrin”
9).
Al-Imam Qurthubi berkata:”Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Alloh
karena menolak al-Qur’an dan juhud (mengingkari) pada perkataan Rosul
Shallallahu alaihi wa sallam maka dia kafir, ini adalah perkataan Ibnu Abbas
Rodhiyallahuanhuma dan Mujahid”[Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 6/190]
10).Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah menafsirkan
ayat hukum di atas dengan mengatakan: “Yaitu seorang yang menghalalkan berhukum
dengan selain hokum Alloh.”[Majmu’Fatawa3/268]
Beliau
juga berkata: “Ketika datang dari perkataan salaf bahwasanya di dalam diri
seseorang ada keimanan dan kemunafikan, maka demikian halnya perkataan mereka
bahwasanya di dalam diri seseorang ada keimanan dan kekufuran ; kekufuran ini
bukanlah kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari agama, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Abbas Rodhiallahuanhuma dan para sahabatnya tentang tafsir firman Alloh.“Artinya
: Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Alloh, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al-Ma’idah : 44); mereka berkata
:”Dia adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari IsIam” Perkataan ini
diikuti oleh Imam Ahmad dan yang lainnya dari para Imam Sunnah.” [Majmu’ Fatawa
7/312]
11). lbnul Qoyyim membawakan tafsir Ibnu
Abbas, Thowus, dan Atho’ bin Abu Robah terhadap ayat hukum dan berkata :”Hal
ini jelas sekali dalam al-Qur’an bagi siapa saja yang memahaminya, karena Alloh
menyebut kafir seorang yang berhukum dengan Selain hukum Alloh, dan menyebut
kafir seorang yang mengingkari pada apa yang Dia turunkan pada Rosul-Nya; dua
kekufuran ini tidaklah sama” [Ash-Sholat
wa Hukmu Tarikiha hal.57]
12). Syaikh Al-Albani berkata: “Kesimpulannya,
ayat hukum ini turun pada orang-orang Yahudi yang juhud (mengingkari) hukum
Alloh. Barangsiapa yang ikut serta mereka dalam juhud, dia telah kafir dengan
kufur i’tiqodi; dan barangsiapa yang tidak ikut serta mereka dalam juhud maka
kufurnya amali[15], karena dia melakukan
amalan mereka, maka dia telah berbuat kejahatan dan dosa, tetapi tidak keluar
dari agama sebagaimana telah terdahulu (keterangannya) dari lbnu Abbas
Rodhyiallahuanhuma ”[Silsilah Shohihah 6/115]
13). Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
berkata : Adapun yang berhubungan dengan atsar Ibnu Abbas Rodhiallahu anhuma di
atas, cukuplah bagi kita bahwa para ulama yang mumpuni seperti Syaikhul Islam
lbnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim dan selain keduanya telah menerimanya dengan
baik, mereka membawakan dan menukilnya, maka atsar ini adalah shohih” [Ta’liq
terhadap risalah Syaikh Al-Albani at Tahdzir min Fitnati Takfir hal. 69]
Dan Syekh Al-Utsaimin memberikan perincian[16]
tentang masalah orang yang berhukum selain hukum Alloh yaitu: Adapun bagi orang yang membuat
undang-undang hukum lain -padahal ia mengetahui ada hukum Allah dan hukum
buatannya ini menyelisihi hukum Allah- maka orang ini telah mengganti syari’at
Allah dengan undang-undang buatannya. Berarti ia kafir. Sebab, dengan adanya
undang-undang buatannya ini, tidaklah ia membenci syari’at Allah, melainkan
karena pasti -ia yakini- bahwa undang-undang tersebut lebih baik bagi manusia
dan negara dibanding syari’at Allah.
Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’[17].Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata lagi:
Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.
Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu). Sekian perkataannya.
Meskipun kami mengatakan bahwa ia kafir (artinya, perbuatan itu bisa menyebabkan kekafiran), Akan tetapi bisa jadi si pembuat undang-undang tersebut ma’dzur (termaafkan). Karena, misalnya ia terpedaya. Umpamanya dikatakan kepadanya,‘Ini tidak menyalahi Islam’, atau ‘Ini termasuk mashalih mursalah’, atau ‘Ini termasuk masalah yang oleh Islam dikembalikan kepada manusia’[17].Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata lagi:
Hendaknya difahami, bahwa seseorang wajib merasa takut kepada Allah (Rabb-nya) dalam menetapkan semua masalah hukum. Sehingga hendaknya, ia tidak terburu-buru menetapkan kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan takfir (menjatuhkan hukum kafir terhadap seseorang). Suatu (penetapan hukum) yang kini menjadi mudah diucapkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah agama yang tinggi dan sangat emosional, tanpa berpikir jeli.
Padahal jika seseorang mengkafirkan orang lain, sedangkan orang lain itu tidak kafir, maka tuduhan kafir kembali kepada dirinya.
Mengkafirkan seseorang akan mengakibatkan banyak konsekwensi hukum. Diantaranya, orang yang dikafirkan menjadi halal darah dan hartanya. Begitu pula semua konsekwensi hukum kafir lainnya. Sebaliknya, kita tidak boleh pula takut mengkafirkan orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun tetapi wajib membedakan antara takfir mu’ayyan (mengkafirkan terhadap pribadi tertentu) dengan takfir ghairil mu’ayyan (mengkafirkan secara umum, tidak kepada pribadi tertentu). Sekian perkataannya.
Saya teringat kisah Imam Ahmad ibn Hambal
Rohimahulloh saat berhadapan dengan Kholifah Al-Ma’mun Al-Abbasi saat memaksa
beliau dan para rakyat untuk meyakini kemakhlukan Al-Qur’an dan bukan Kalamulloh
( ini adalah aqidahnya aliran sesat jahmiyah) tapi tak ada seorangpun termasuk
beliau yang mengkafirkan Kholifah Al-Ma’un bahkan sampai saat ini..
Bayangkan kekejaman Al-Ma’mun dan bandingkan dengan SBY, apakah SBY mengatakan
Al-Quran adalah makhluk ( yang sungguh ini lebih rentan terhadap kekafiran
ketimbang berhukum dengan Togut)??apakah SBY memaksa rakyatnya atau menyiksa mereka untuk meyakini khulqul Quran??jawabannya pasti tidak,
namun apakah yang menyebabkan kita mudah menyulut kebencian bahkan vonis kafir
terhadapnya?? apakah karena indonesia bukanlah sebuah negara yang diakui oleh
Islam sehingga SBY bukanlah termasuk amir kita??Atau apakah karena kebencian
kita terhadap SBY karena tidak becus dalam pemerintahan serta dzolim terhadap
rakyatnya[18]
Yang Padahal kepemimpinan
SBY sah sekalipun tidak berdasarkan apa yang telah digariskan Islam, berkata
Imam Ahmad dalam kitabnya
Ushulus Sunnah, pada ashl (prinsip) yang ke-28 tentang taat kepada Amir,
ia berkata:
"Mendengar dan taat kepada
para imam (pemimpin pemerintahan ) dan Amirul Mukminin, yang baik maupun yang
jahat. Begitu juga (mendengar dan taat kepada) orang yang memegang tampuk
kekhalifahan yang telah disepakati dan diridhai oleh umat manusia. Demikian
pula (mendengar dan taat kepada) orang yang dapat mengalahkan manusia dengan
pedang hingga menjadi khalifah (pemimpin) dan disebut Amirul Mukminin".
Dari
perkataan tersebut jelaslah, bahwa orang yang diangkat menjadi pemimpin baik
itu dengan cara damai ataupun dengan cara kekerasan[19]
bahkan dengan cara membunuh tetaplah sah, maka kenapa kita tidak mengakui
kesahan pengangkatan pemimpin Indonesia yang pada akhirnya Manusia menyepakatinya
– sekalipun dengan system Bid’ah demokrasi yang kita akui kebejatannya -.??[20]
Dan
sekiranya perlu diketahui bahwa pemilihan pemimpin berdasarkan keturunan adalah
boleh dan sah dalam hukum Islam[21],
sehingga salahlah pendapat Sayyid Quthub (tanpa mengurangi keutamaannya)
–semoga Allah mema’afkan kita dan dia- yang diambil oleh mayoritas kaum
muslimin pada hari ini, tentang persangkaannya bahwa pemilihan Mu’awiyah
Radhiyalahu ‘anhu, kemudian anaknya (Yazid bin Mu’awiyah,) telah keluar dari
kaidah dasar Islam dalam masalah kekuasaan : Yaitu pemilihan kaum muslimin
secara mutlak! Sebagaimana dia telah salah dalam persangkaannya bahwa “seorang
penguasa dalam agama Islam mengambil hukum dari satu sumber, yaitu kehendak
rakyat!”. Dia beranggapan bahwa metode yang benar dalam memilih pemimpin ialah
: “Kita bermusyawarah dengan seluruh (rakyat) dengan metode yang menjamin bisa
diterima semua orang!”[22]
Dan menurutnya, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak mengangkat
seorangpun sebagai pemimpin tanpa musyawarah kaum mukminin’[23]
Maka hendaklah
kita mentaati pemimpin kita walaupun ia sedzolim apapun asalkan ia muslim,
karena bagaimanapun pemimpin jika berpendapat sesuatu yang ma’ruf wajib kita
taati keputusannya, sekalipun bertentangan dengan pendapat kita[24] namun pemimpin tidaklah wajib mengikuti
pendapat kita[25]
Namun demikian pembahasan ini, Demi Alloh
tidak untuk melegalkan hukum dengan Togut – Karena hukum dengan selain Syariat
Islam adalah haram bahkan masuk kepada kekufuran - ataupun membela SBY . Namun untuk menjungjung Ad-ADhoruriyat
al-Khoms[26] yang datang dengannya Islam
serta untuk menghilangkan virus-virus Khowarij[27]
yang tumbuh subur bak jamur di Indonesia[28].
c. Apakah wajib taat terhadap
pemerintah Indonesia yang berhukum Thogut[29]
Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan kewajiban taat
kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan hal
tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)
Demikian
pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:
“Aku
wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat
kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari
Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah: “Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan
pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan
kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami
memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu
kewajiban, selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah).
Dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah
Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu
Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat
kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya[30],
dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak.” (Fathul Bari,
13/7)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, dalam kitab karyanya, Ushulus
Sunnah, pada ashl (prinsip) yang ke-28 berkata:"Mendengar dan taat kepada
para imam ( pemerintah ) dan Amirul
Mukminin, yang baik maupun yang jahat[31].
Begitu juga (mendengar dan taat kepada) orang yang memegang tampuk kekhalifahan
yang telah disepakati dan diridhai oleh umat manusia. Demikian pula (mendengar
dan taat kepada) orang yang dapat mengalahkan manusia dengan pedang hingga
menjadi khalifah (pemimpin) dan disebut Amirul Mukminin".
Yang menjadi pertanyaan kita saat ini, apa Bolehkah Membangkang
Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam? Dibahasan
ini, Saya lampirkan Fatwa dari As-syekh Al-Utsaimin berikut ini:
Pertanyaan:
Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati
pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang
bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya[32],
serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh
diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk
menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai
kepada derajat kekufuran dengan dua syarat: 1) Dia mengetahui hukum Allah dan
Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena
penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya. 2) Motivasi dia berhukum
dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok
lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi
para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum dengan selain
hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam[33],
berdasarkan firman Allah: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah:
44)
Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya, tidak ada
haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan dari
kekuasaan. Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum Allah, namun dia tetap
yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah itu adalah wajib dan
lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau
hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau
zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan
kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya. Sebab Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap pemerintah
(muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan
(dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [34]
Kesimpulan Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara
yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau
membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya
seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat
yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul
mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya
belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa,
berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
D. Khilafah Shohihah dan Khilafah
Batilah
Rosululloh Sholallohu alaihi waslam bersabda
dalam hadits Hudzaifah :“Akan ada masa kenabian pada kalian selama
yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah
menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah
kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa
kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah
mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani)
selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki.
Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau
diam.”[35]
Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj
nubuwwah (jalan Nabi) merupakan suatu karunia Allah semata. Tak seorang muslim
pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan
terwujudnya khilafah tersebut dan kelak akan terjadi karena Allah telah menjanjikan kepada umat ini akan
terwujudnya kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka[36]
.
Permasalahannya adalah bahwa sebagian kaum muslimin mengalami Kerancuan dalam memahami makna
khilafah di zaman ini. Mereka membatasi makna khilafah pada kekuasaan yang
mencukup seluruh negeri-negeri kaum muslimin. Mereka menyangka, menurut
syari’at hanya khilafah sebagai bentuk pemurnian dalam masalah kekuasaan.
Sehingga menyebabkan sebagian para pemuda dari umat ini yang telah Allah
berikan semangat, tetapi mereka tidak dianugerahi ilmu dan keteguhan -menolak
bentuk-bentuk sistem kekuasaan selain khilafah. Di tengah pengamatan dan
ketegersaaan mereka terhadap model pemerintahan teladan tersebut, mereka
menggugurkan syarat rusyd (kelurusan) dan hidayah (petunjuk). Sehingga mereka
sibuk dan terburu-buru mendirikan khilafah dalam negara dan mencari amir yang
harus mereka bai’at.
Yang padahal pemimpin dan Negara yang mereka tinggali
adalah Negara yang sah karena telah berdiri diatas syarat-syaratnya[37],
sehingga yang harus mereka lakukan adalah bagaimana mendirikan daulah itu didalam
diri sendiri lalu mendakwahinya dengan pondasi dan tujuan Tauhid sehingga
berdirilah khilafah islamiyah dimuka Bumi ini pada akhirnya[38]
Dari hadits Hudzaifah di atas, jelas bagi kita bahwa meskipun
suatu negara atau pemerintah tidak berbentuk khilafah -baik itu berbentuk kerajaan, republik, parlementer
atau yang lainnya- selama masih memenuhi
kriteria dan definisi sebagai negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara
Islam. Sehingga kewajiban mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh
memberontak kepadanya,.
Dan perlu diketahui juga bahwa penegakan Khilafah hukumnya
bukanlah wajib ain bagi seluruh muslim, tapi kifayah sebagaimana yang
diterangkan para ulama[39],dan
berdirinya Khilafah bukanlah ujuan utama agama ini, sehingga tidak seyogyanya
seorang muslim memusatkan serta
mengkosentrasikan pikiran, waktu, dan tenaganya demi mewujudkannya
dengan menyampingkan Ibadah-ibadah yanglebih penting lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan
satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam dan merupakan permasalahan
umat yang paling utama (mulia) adalah suatu kedustaan berdasarkan ijma’
(kesepakatan) kaum muslimin, baik dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari
kalangan Syi’ah (itu sendiri). Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai
suatu kekufuran, sebab masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah permasalahan
yang jauh lebih penting daripada permasalahan Al-Imamah. Hal ini merupakan permasalahan
yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam.” [40]
Kemudian beliau melanjutkan: “…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau
seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwahpara nabi), maka (mestinya)
wajib atas Rasulullah untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal
beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang
permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara
iman dan tauhid kepada Allah serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang
diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah
tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga
tentunya di antara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam
agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar
dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah terntang
permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan
permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan
penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para
malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang
kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan
warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin
Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting
dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)[41]
Sungguh
sangat mengerikan lingkungan kita sat
ini, sebagian kaum muslimin tergesa-gesa dalam menegakan Khilafah dengan
semangat tanpa didasari dengan ilmu, dan lebih mengenaskan lagi sebagian mereka
mencari-cari amir dan berlomba-lomba membai’atnya dengan berdalih hadits Rosul
: “Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah
pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati,
sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian
jahiliyah". (HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133)[42]
Apakah jika Khilafah berdiri pada zaman ini,
permasalahan selesai dan agama ini tegak?? Yang padahal diluar sana muslimin
bergelimang pada kemaksiatan dan kesyirikan yang semuan ini menyebabakan
kehinaan agama[43]
ini, coba kita berfikir dengan logika saja dulu, jika kita membangun sebuah
rumah mana yang lebih kita prioritaskan membuat pondasi kuat atau mementingkan
keindahan rumah?? apakah akan tegak khilafah islamiyah yang berdiri diatas
pondasi rapuh??? Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh terlebih dahulu dalam
mengajak manusia untuk memurnikan tauhid mereka yang terkontaminasi dengan
kesyirikan. Kemudian barulah saat muslimin siap dengan ketakwaannya kita
songsong bersama al-Khilafah Al-Islamiyah yang kita inginkan dan impikan .
Mungkin
sekiranya penjelasan ini membuka dimensi cakrawala berpikir baru sebagian kaum
muslimin yang mungkin telah terkontaminasi pemikirannya dengan kesesatan,
karena bagaimanapun pada zaman ini Islam telah berpecah belah dalam beberapa
golongan serta kelompok, yang berbaju islam namun berpikiran menyelisihi apa
yang dibawa Rosululloh Sollallohu alaihi wasallam.
Sungguh benarlah yang dikatakan Rosul kita ketika
Hudzaifah rodiyallohu anhu bertanya tentang kejelekan: “ ya rosululloh sesungguhnya
kita dahulu dalam keadaan jahiliyah dan kejelekan kemudian Alloh mendatangkan
kebaikan kepada kita ,apakah setelah kebaikan ini aka nada kejelekan?Rosululoh
bersabda:” Ya, tapi kebaikan tersebut tercampur dengan kesuraman”,aku berkata:
“Apa bentuk kesuraman tersebut?”, Dia berkata:”Adanya satu kaum yang
berperinsip selain dengan sunnahku, dan mengambil petunjuk selain petunjukku, engkau
mendapati kebaikan pada mereka di sayu sisi, namun disisi lain engkau
mengingkari kemungkaran yangada pada mereka”.aku berkata:” apakah setelah
kebaikan itu masih ada kejelekan lagi?” Dia berkata :” ya, yaitu muncul
sekelompok da’I yang berada didepan pintu-pintu jahanam,barang siapa memenuhi
seruan mereka maka mereka akan melemparkannya ke neraka Jahannam” aku berkata:”
ya rosululloh sebutkan kriteria itu kepada kami!” Dia berkata:”Mereka adalah
suatu kaum yang berasal dari bangsa kita
dan berbicara dngan bahasa kita”Aku berkata:” ya rosululloh apa nasehatmu jika kondisi
itu menemui aku?DIa berkata:”Wajib atasmu untuk berpegang teguh dengan Jamaatul
muslimin ( pemerintah Muslimin) dan penguasa mereka.kemudian Aku berkata:”kalau
seandainya mereka tidak memiliki pemerintah dan penguasa?” Rosululloh
menjawab:”maka tinggalkanlah semua kelompok, walaupun engkau terpaksa harus
menggigit akar pohon hingga kematian datang menemuimu sementara engkau tetap
berada dalam keaaan seperti itu” [44]
Dan salah satu pemikiran yang tumbuh subur yang
melekat pada sebagian pemuda Muslimin pada saat ini adalah pemikiran Anjing
neraka Khowarij[45]
yang ringan lisannya untuk mengkafirkan orang lain, sungguh ini adalah musibah
besar untuk umat ini sehingga tak hayal mereka
mudah membunuh orang lain tanpa haq dan mengebom sana-sini dengan dalih
“kafir”.
Maka hendaklah kita terus mencari Ilmu sehingga
terhindar dari fitnah tersebut, karena bagaimanapun ilmu itu dituntut sebelum
berkata apalagi mengamalkan.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua,
sungguh saya sadar bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, jika didapati dalam
tulisan ini kebenaran maka kebenaran dari Alloh, dan jika kiranya terdapat
kesalahan maka kesalahan itu dari kejahilan saya dan dari Syaiton yang tidak
ridho jika Agama ini kembali mulia.Robby zidny ‘Ilman warzuqni Fahman!!
Kita meminta kepada Alloh Taufiq dan Hidayah,kemudian
solawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad solallohu alaihi
wasallam , dan para keluarganya serta para sahabatnya, dan akhir seruan kami
adalah “ Alhamdulillahi robbil alamin “
footnote:
[1]
Kesalah pahaman dalam pembedaan ini amatlah fatal, contohnya jika kita
mengatakan Indonesia adalah Negara kafir maka akan ada hukum-hukum yang
berkaitan dengannya, contoh Negara
Indonesia boleh diperangi oleh Negara- Negara Islam lainnya karena kekafirannya
,
[2] Jadi dapat kita
simpulkan bahwa tolak ukur pembedaan Daulah
Islamiyyah atau Daulah Kafirah terletak pada kondisi penduduknya, dan bukan
sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi
negeri tersebut sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah. (lihat Majmu’ Fatawa, 18/282)
[3] Lihat penjelasan lebih jelasnya di kitab
Syarh al-ushul ats-tsalatsah tulisan Syekh Al-Utsaimin cet Dar Al-Aqidah hal107 atau dalam bahasa indonesianya buku
Ulasan tuntas tentang 3 perinsip pokok , cet Yayasan AlSofwa hal 219.
[4]
(HR.Bukhari no. 610 dan Muslim no. 1365)
[5]
(Syarh an Nawawi li ShahihMuslim 4/84)
[6]
(Al Jami' Liahkamil Qur'a n 6/225)
[7] (Syarh Zarqany li Al-Muwatha' 1/215)
[8]
Senada dengannya apa yang telah dikatakan disebuah milis yang dikirimkan
seorang ikhwan yang berbicara tentang daulah Islam Iraq, disitu ditulis :´
..atau Negara-negara Murtad seperti Arab Saudi,jordan,atau negara kafir murtad
seperti Malaysia dan Indonesia…" (Astaghfirulloh, begitu entengnya mengkafirkan,
yang padahal ia ( dimilis tersebut tidak dicantumkan namanya )sendiri tinggal
di Indonesia, kenapa gak hijrah ja ke Iraq sana.
[9]
Rosululloh bersabda "Bila seseorang mengkafirkan saudaranya,
maka kekafiran itu kembali pada salah seorang diantara keduanya. Dalam riwayat
lain: jika benar tuduhannya..., kalau tidak, (maka) akan membalik kepada
dirinya". [HR Muslim, Kitab Al Iman, Bab: Bayan Hali Man Qala Li’akhihi Ya
Kafir]”
[10]
Abdulloh bin Abbas Rodhiyallahu anhuma dikenal dengan julukan
“Penerjemah al-Quran dengan barokah do’a Rosululloh Shallallahu alaihi wa
sallam.Rosululloh mendoakannya : “Ya Alloh, pahamkan dia dalam agama dan
ajarilah dia tafsir” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 1/328 dan
dishohihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad Syakir ] , lbnu Mas’ud Rodhiyallahu anhu
berkata : “Sebaik-baik penerjemah al-Qur’an adalah lbnu Abbas” [Diriwayatkan
oleh lbnu Jarir dalam Muqoddimah Tafsir-nya dengan sanad yang shohih]
[11]
[Tafsir Ibnu Jarir 10/355]atau lihat kitab Al-Mustadrok
karya al-Imam Al-Hakim (II/313) sanadnya
dishohiihkan beliau dan disepakati oleh adz-dzahabi dan diShohihkan oleh Syekh
Al-Albany dalam as-shohihah no :2552
[12]
Perincian
kekufuran menjadi dua : kufur akbar dan kufur duna kufrin (kufur kecil) adalah
pendapat para sahabat yang merupakan orang paling berilmu tentang Kitabulloh di
antara umat ini serta paling tahu tentang Islam dan kufur berikut hal-hal yang
menyertai keduanya. Inilah pendapat ulama Ahli Sunnah dari masa ke masa. Adapun
pendapat yang memutlakkan kekufuran dengan mengatakan bahwa setiap yang
berhukum dengan selain hukum Alloh maka dia kafir, keluar dari Islam secara
mutlak tanpa perincian -mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Alloh
ataupun tidak-, maka ini adalah pendapat Khowarij.
[13]
. [Bait-bait syair Abu Bashir di atas dinukil oleh Syaikh Robi’
bin Hadi al-Madkholi hafizhahullah di dalam makalah beliau yang berjudul Man
Humul Khowarij Mariqun wal Murji’ah Mumayyi’un] Syekh Robi’ mengatakan Bahwa
pemikiran Abu Bashir terpengaruh dengan Khowarij.
[14]
Penamaan ini didisarkan dari perkataan Syekh Al-Albany Rohimahulloh didalam
Silsilah Shohihah 6/115
[15]
Perlu diketahui juga, bahwa para ulama ada yang membagi kufur menjadi 2, yaitu
I’tiqodi ( keyakinan)yang mengeluarkan dari Agama, dan Amaly (amal)yang tidak
mengeluarkan dari Agama,maka sungguh
celakalah orang yang mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Alloh dengan bersandar Hadits “barang siapa
yang bersumpah dengan selain Alloh maka ia sungguh telah Kafir atau Musyrik ( Hr.Tarmidzy)” karena kekufuran
dihadits ini adalah Amaly dan Syirik
Asghor
[16] Dan beliaupun membagi
tingkatan-tingkatannya, yaitu kafir jika Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain
apa yang diturunkan Allah atau meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah
atau meyakini, bahwa hukum selain Allah
lebih baik dari hukum Allah. Dan bahwa
siapa saja yang berhukum dengan selain hukum Alloh dengan mengakui wajibnya
berhukum dengan hukum Alloh dan tidak mengingkarinya, maka dia belum sampai
kepada kekufuran
[17]
Lihat Kitab Al Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid hal.266-269
[18]
Sekedar mengingatkan, rosululloh
bersabda :"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dia benci dari
amir (kepala pemerintahan)nya, maka hendaklah ia bersabar..."
[19]
Saya sebut dengan “kekerasan” sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Dr.
Ibrahim bin 'Amir ar Ruhaili, seorang guru besar jurusan aqidah pada
Universitas Islam Madinah ( pada Daurah ke VI di Lawang, Jatim, yang
diselenggarakan oleh Ma'had al Irsyad al 'Ali as Salafi, Surabaya yang ditulis
dimajalah As-sunnah)) dan maksud dari disepakati dan diridhai oleh umat manusia
adalah dengan cara pemilihan
[20]
Kaifiyatnya memang menyimpang dan Bid’ah dan hendaklah seorang muslim
menjauhkan diri darinya namun kesepakatan manusia pada akhirnya dalam
pengangkatan pemimpin inilah yang dijadikan acuan.
[21]
Sebagaimana Firman Alloh tentang pengangkatan Sulaiman setelah daud dalam
kenabian dan kerajaan “Dan Sulaiman
telah mewarisi Dawud” [An-Naml ; 16]
[22]
padahal tidak ada di dalam kitab Allah, Sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sunnah Khulafa ur-rasyidin, pemahaman
imam-imam agama pada generasi-generasi yang utama (tiga generasi awal umat
Islam, pent), bahkan tidak ada pada sepuluh generasi setelahnya, peraturan
penetapan kekuasaan dengan suara-suara pemilih, apalagi lebih mengutamakan
suara-suara pemilih. Hal itu hanyalah taqliid (mengikuti tanpa ilmu) terhadap
undang-undang buatan manusia dan menjadikan pendapat mayoritas (suara
terbanyak) sebagai pemutus hokum. Yang ada hanyalah penunjukan dan wasiat amir
sebelumnya ( sebagaiman yang dilakukan Rosululloh terhadap Abu Bakr dan Abu
Bakar terhadap Umar ) atau dengan Musyawaah para ahlul Halli wal aqdi (
sebagaimana yang dilakukan tokoh-tokoh dari sahabat terhadap Ali ) dan juga
dengan system keturunan.
[23]
Silahkan Lihat di Kitabnya Ma’rakatul Islam wa Ra’sumaliyah (Pergulatan Islam
dengan Kapitalisme), Penerbit Darusy Syuruq, Tahun 1414H, halaman 72-73
[24]
para ulama jika ada perbedaan dikalangan manusia, maka pendapat imamlah yang
diikuti,mereka mengatakan "ijtihad seorang imam (pemimpin atau kepala
negara) menghilangkan perselisihan pendapat". Syaikul Islam Ibnu Taimiyah
memberikan perumpamaan sederhana seperti ini:” "Sebagian ulama melakukan
shalat berjama'ah di belakang imam yang menurut keyakinan mereka, wudhu`nya
kurang". Yakni, sebagian imam yang berpandangan bahwa mengusap kepala
hanya pada sebagian kepalanya sebagaimana madzhab Imam Syafi'i, dijadikan imam
shalat, di belakangnya berma'mum orang-orang yang berpandangan bahwa mengusap
kepala harus semuanya.Sedangkan orang yang berpandangan mengusap kepala hanya
pada sebagian kepala, jika melihat orang yang mengusap kepala secara
keseluruhan akan berkata "wudhu` orang ini tidak benar", namun
apabila ia shalat dan menjadi imam, maka ia harus diikuti, sebab ia adalah
imam. Jadi ijtihad imam menghilangkan perselisihan. Para fuqaha telah
menyebutkan suatu kaidah, "barangsiapa yang shalatnya sah bagi dirinya,
maka ia sah untuk dijadikan imam"
[25]
contoh kecil misalnya Allah Ta’ala memang telah
mensyari’atkan musyawarah di antara kaum muslimin, namun hasil
musyawarah tidaklah wajib diikuti oleh penguasa. Buktinya Abu Bakar menyelisihi
mayoritas sahabat –atau semua sahabat- dalam memerangi orang-orang yang tidak
mau berzakat. Bahkan beliau menyelisihi sebagian sahabat yang tidak setuju
penunjukkan Umar sebagai penggantinya.
[26]
Yaitu perlindungan terhadap Jiwa, Harta,
Agama, Kehormatan dan Akal
[27]
kelompok Khowarij
adalah Kelompok yang mengeluarkan para pelaku dosa besar dan Islam, dan
menghukumi bahwa para pelaku dosa besar ini kekal dineraka dan Kelompok yang
kedua adalah kelompok Murji’ah yaitu menjadikan para pelaku dosa besar ini
seperti orang-orang mu’min yang sempurna keimanan mereka! Kelompok pertama
ghuluw (berlebihan) dan kelompokkedua sembrono dan menggampangkan. Adapun
Ahlusunnah wal jamaah maka ia pertengahan dari mereka.
[28]
Saya teringat dengan seorang pengkhutbah,
yang mengatakan pembagian Syirik menjadi syirik besar ( mengeluarkan dari agama) dan Syirik kecil ( tidak
mengeluakandari Agama) adalah kesesatan, karena ia meyakini semua Syirik
Alloh tidak akan mengampuninya dan
menjadi kafir. Bayangkan kefatalan perkatan tersebut, jika demikian
maka telah banyak orang yang menjadi
kafir didunia ini dengan syirik kecilnya ( bersumpah dengan selain Alloh,menyembelih
untuk selain Alloh etc) ,tapi
Alhamdulillah setelah berdialog dengan kami ia mau ruju’ dari kesalahanya. Innalloha yahdy man yasya
[29]
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada
satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya
Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau
kafir , baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap
wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. serta negaranya
islam atau kafir, barangsiapa yang mengatakan dasar ketaatannya adalah Hukum yang digunakan, kami minta
dalilnya!
[30]
Ulama berkata:”
haji dan jihad dilakukan bersama penguasa dari Orang muslim,baik maupun jahat
tidak ada yang membatalkannya dan merusakannya( lihat Syarh Al-Aqidah
At-Thohawiyah)”saya tegaskan lagi yang perlu kita garis bawahi bahwa Ukuran ketaatan ulil amri adalah
keislamannya
[31]
Saya teringat perkataan Imam Ahmad
ketika ditanya tentang memberontak terhadap Kholifah Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim
yang berhaluan Mutazilah ( perlu diketahui 3 khalifah yang mengatakan khulqul
quran yaitu :al-ma’mun,al-mu’tashim & al-watsiq mereka semua hidup semasa
Imam Ahmad) ia berkata : “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian, dan jangan sekali-kali mencabut
tangan dari ketaatan , dan jangan pula mematahkan persatuan kaum muslimin, dan
jangan pula kalan menumpahkan darah kaum mslimin, pertimbangkan akibat
perbuatan kalian tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik
meninggal Dunia atau sebaliknya pemimpin dzolim itulah yang meninggal dunia”
coba renungkan dan bandingkan dengan kearogansian orang-orang saat ini yang
mudah mengkafirkan penguasa dan mudah menyulut kebencian terhadapnya
dan pada akhirnya berusaha untuk menggulingkannya .
[32]
Berdasarkan Hadits : "Sesungguhnya, ketaatan hanyalah dalam hal yang
ma'ruf."( HR Imam Bukhari, kitab
Al-Ahkam, Bab. As-Sam'u wat Tha'atu lil Imam Ma Lam Takun Ma'shiyatan, no. 7145
dan Imam Muslim, kitab Al-Imaratu, Bab Wujubu Tha'atil Umara fi Ghairil
Ma'shiyati, no. 4742)
[33]
Lihat pembahasan Syekh Utsaimin yang
lalu.
[34] (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni
‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
[35]
(HR.
Ahmad, al-Musnad 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 5)
[36] Lihat Surat An-Nur ayat 55, berkata Ibnul Qayyim tentang ayat ini : “(Ayat) ini mengabarkan tentang
ketetapan dan kebijaksanaan Allah terhadap
makhluk-Nya yang tidak akan mungkin berubah, bahwa barangsiapa yang beriman
danberamal shalih maka Allah akan
mengokohkannya di muka bumi dan memberikan khilafah kepadanya, tidak
membinasakan dan menghancurkan mereka sebagaimana (Allah) membinasakanorang-orang
yang mendustakan para rasul dan menyelisihi mereka. Allah mengabarkan
kebijaksanaan dan muamalah-Nya terhadap orang yang beriman kepada para rasul
dan membenarkan mereka bahwa Allah akan memperlakukan mereka sebagaimana Allah
memperlakukan orangorangsebelum mereka dari para pengikut rasul.” (Jala`ul
Afham hal. 287, karya Ibnul Qayyim)
[37]
Diantaranya adalah pemerintah Indonesia memiliki wilayah dan kekuasaan demikian
pula masyarakat Indonesia mengakui kepemimpinan Indonesia atas mereka.
[38] Sebagimana yang dikatakan oleh Syekh
Al-Albany “Tegakkanlah
Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara
kalian.”(lihat At-Tashfiyah wat-Tarbiyah hal. 33, transkrip ceramah Asy-Syaikh
Al-Albani)
[39] Diantaranya adalah Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi ia berkata di dalam kitabnya
Al-Ahkam As-Sulthaniyah: “…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan)
Al-Imamah (kepemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat kewajibannya adalah fardhu
kifa-yah, seperti kewa-jiban jihad dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau juga
berkata: “Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan khilafatun
nubuwwah dalam rangka menjaga agama dan pengaturan urusan dunia yang
penegakannya adalah wajib secara ijma’,bagi pihak yang berwenang dalam urusan
tersebut.” Dan Imamul Haramain juga menyatakan bahwa permasalahan Al-Imamah
merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
[40] (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
[41] Mari kita bandingkan dengan apa yang
dikatakan dan diyakini sebagian muslimin dewasa ini bahwa :Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan
kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar dan ia merupakan
Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan)
yang shalihah dan rasyidah. Serta Permasalahan Al-Imamah adalah tujuan utama tugas para nabi.
[42] Yang padahal Bai’at yang dimaksud
Hadist diatas adalah baiat taat kepada imam yang nyata keberadaannya dan
disepakati oleh ahlul hali wal-‘aqd (tokoh-tokoh kaum muslimin), ia memiliki
wilayah dan kekuasaan serta menegakkan syariat dan disepakati oleh kaum
muslimin. Imam yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud,
mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban
dan hak seorang imam. Bukan baiat atas pemimpin jamaah didalam Negara
sebagaimana yang dilakukan Hizbiyun dewasa ini. Adapun kita sebagai rakyat
biasa tidak mesti berbaiat datang bersalaman dan bersumpah didepannya,
sebagaimana yang dikatakan Al-Imam An-Nawawi
rahimahulllahu:”Adapun bai’at, para ulama telah sepakat bahwa tidak disyaratkan
sahnya bai’at dengan adanya bai’at dari seluruh manusia, tidak pula dari semua
ahlul halli wal ‘aqdi. Hanyalah disyaratkan bai’at mereka yang mudah untuk
mencapai kesepakatan mereka dari kalangan para ulama, para pemuka dan
tokoh-tokoh masyarakat.” (Syarah Muslim, An-Nawawi rahimahulllahu, 12/77) dan Al-Maziri rahimahulllahu
berkata:Cukup dalam membai’at imam dilakukan pihak ahlul halli wal ‘aqdi dan
tidak wajib bagi seluruhnya. Tidak mesti setiap orang harus hadir lalu
meletakkan tangannya di tangan (orang yang di bai’at). Namun cukup menyatakan
komitmen ketaatan dan tunduk kepadanya dengan tidak menyelisihinya serta tidak
merusak persatuan.” (Fathul Bari, 7/494)
[43]
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah2, dan kalian
telah disibukkan denganmemegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan
bercocok tanam, serta kalian telahmeninggalkan jihad, niscaya Allah akan
timpakan kepada kalian kehinaan. Tidak akan dicabutkehinaan tersebut sampai
kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad.Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 11)
[44] (
HR Al-Bukhory no 3606,7084 dan Muslim no 1847)
[45]
Rosululloh bersabda tentangnya :”Akan keluar pada akhir zaman, suatu kaum yang
muda umurnya, pendek akalnya. Mereka mengatakan sebaik-baik ucapan manusia,
mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka,mereka melesat
keluar dari batas-batas agama ini, seperti melesatnya anak panah dari tubuh
buruannya maka jika kalian mendapati mereka, perangilah mereka, karena
sesungguhnya siapa orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala disisi
Alloh pada hari kiamat ( Muttafaqun alaih)
hebat euy,,,syukron ustadz>> atas ilmu.a
BalasHapushujjah yang terbantahkan,, syukron ane cari2 yang mantab seperti ini,,, numpang nge share yach!!!
BalasHapusTafadhool..akhy..!! smoga bermanfaat ya..!!
BalasHapusUstadz ana jadi makin bingung ya!hehehe, jadi Indonesia negara islam gitu???atau bagaimana?? bukankah Negara ini berhukum dengan Thogut???tolong pencerahannya!!!
BalasHapusbarakallahu fiikum ya ust, alhamdulillah saya telah menemukan jawaban atas syubhat sebagian kaum muslimin yang mengakfirkan pemerintah, izin copas ya tadz.
BalasHapus